Tersebutlah sebuah kisah seorang mahasiswa Ilmu Komputer Universitas Helsinki Finlandia bernama Linus Torvalds. Linus masuk kuliah tahun 1988 dan pertama kali mengenal Unix yang berjalan di mesin DEC MicroVAX pada tahun 1990. Sebagai seorang mahasiswa Ilmu komputer, saya rasa ia telah membaca habis buku "Operating Systems: Design and Implementation" karya Profesor Andrew S. Tanenbaum.

Di dalam buku yang terbit pertama kali tahun 1987 ini terdapat source code Minix, sebuah program sistem operasi yang mirip Unix dan bisa dijalankan di mesin Intel x86 yang murah. Minix sendiri diciptakan bukan untuk tujuan komersial, tetapi sebagai sebuah sarana pembelajaran sistem operasi dan source code berbahasa C itu diselipkan di bagian akhir buku sang profesor.

Pada tanggal 5 Januari 1991, Linus memutuskan untuk membeli komputer desktop Intel 80386. Di mesin inilah Linus mulai mengotak-atik Minix dan meramu gagasan untuk menyusun skripsi yang ia beri judul "Linux: A Portable Operating System".

Dengan berbekal software GNU, source code Minix, dan gagasan-gagasan cemerlang yang ada di buku "Operating Systems: Design and Implementation", Linus menciptakan prototip Linux yang ia publikasikan pada pada tanggal 5 Oktober 1991. Versi 1.0 Linux secara resmi diluncurkan pada tanggal 14 Maret 1994.

Pada awalnya ia menamai kernel yang dibuatnya dengan nama "Freak", gabungan dari kata free, freak, dan unix. Beberapa file kode sumbernya juga diberi imbuhan freak. Sementara itu sempat pula terpikir olehnya untuk memberinya nama “Linux”, gabungan namanya sendiri (Linus) dan Minix. Tapi nama ini dirasakannya kurang pas, karena memperlihatkan sisi egois.

Ketika kode sumbernya diunggah ke server FTP, salah seorang kawannya yang merasa nama "Freak" kurang menarik dan catchy menggantinya dengan nama Linux tanpa ijin dari yang empunya. Karena sudah terlanjur dipublikasikan, akhirnya Linus Torvalds menyetujui pengubahan nama itu.

Dalam waktu relatif singkat, Minixnya si Linus ini mendapatkan banyak tanggapan positif di ruang diskusi maya comp.os.minix, tempat ngobrol para programmer yang hobi ngoprek minix. Pun banyak pihak lain yang mendukung kelahiran kernel baru ini.

Sebaliknya, Profesor Andrew S. Tanenbaum, sang penemu Minix tidak terlalu antusias dengan lahirnya Linux. Ia menyebut Linux adalah sistem operasi yang sudah usang. Sang profesor menambahkan bahwa menulis kernel monolitik sebagaimana Linux di tahun 1991 adalah "langkah mundur ke tahun 1970-an".

Kritikan sang profesor benar adanya. Dalam perkembangannya, Linux mengadopsi sistem hybrid untuk menutupi kelemahan desain monolitik yang dibuatnya. Sistem baru ini memungkinkan penggantian driver hardware tanpa harus mengkompilasi ulang kode sumber sistem operasi secara keseluruhan.

Minix, yang secara teoritis lebih unggul dari Linux karena dibangun dengan mikro-kernel (alih-alih sistem monolitik sebagaimana Linux), sampai hari ini tidak terlalu berkembang. Salah satu penjelasan yang masuk akal kenapa sejarah berjalan seperti itu, barangkali adalah karena Linux didistribusikan secara bebas dengan lisensi GNU, tidak sebagaimana Minix yang lisensinya dimiliki oleh Sang Profesor. Dengan lisensi GNU, membuat banyak orang terpanggil untuk urun rembug mengembangkan Linux dan modul-modul pendukungnya. Dan hal itu membuat Linux menjadi populer dan lebih diterima di kalangan para programmer.