Proyek Open Source : Mendobrak Citra Individualistik dan Hobi

"Suka menjadi pengembang piranti lunak komputer berbasis teknologi terbuka atau open source, itu karena saya tidak memiliki banyak uang. Alasan lain, karena keberadaan saya secara individual tidak terikat struktural, atau berada pada struktur ketidakmapanan."

Itulah rumusan sederhana Idaman Andarmosoko (44). Ia menjadi salah satu dari 127 peserta Asia Source II dari 27 negara Asia yang berlangsung di Sukabumi, Jawa Barat, 22-30 Januari 2007.

Asia Source II merupakan sarana pertemuan bagi para pengembang piranti lunak komputer berbasis teknologi terbuka, atau kini lebih sering disebut open source. Secara individual, para pengembang open source itu turut dalam berbagai komunitas lembaga swadaya masyarakat maupun pengembang usaha kecil dan menengah di Asia.

Setidaknya, dari salah satu peserta, yaitu Idaman Andarmosoko, latar belakang ketertarikan terhadap open source cukup menarik. Yaitu, tidak memiliki banyak uang dan berada pada struktur ketidakmapanan.

Sebelumnya, selama 12 tahun, ia berkecimpung menangani masalah teknologi informasi di salah satu universitas di Yogyakarta. Sejak 1999, Idaman ke Jakarta dan aktif dalam kegiatan berbagai LSM. Salah satunya, sampai sekarang dia aktif di Institute for Global Justice.

Peserta lainnya, seperti Cheekay Cinco dari Filipina, adalah aktivis jender yang juga memanfaatkan open source bagi aplikasi internetnya untuk berbagai pelatihan dan publikasi kebijakan serta advokasi masalah jender. Kong Sidaroth dari Kamboja juga menjadi pengembang open source di negaranya. Ia merupakan koordinator media pada Open Institute, LSM yang turut memopulerkan open source.

Tharaka Weerasekara, peserta Asia Source II dari Sri Lanka, mengaku mengenal open source sejak enam tahun silam. Ia bergabung dengan Lankenet (Gte) Ltd, organisasi yang sukses memperkenalkan Linux Thin Client System untuk berbagai kegiatan LSM di Sri Lanka.

Individu-individu seperti itulah yang bergabung dalam kegiatan Asia Source II di Sukabumi. Mereka saling berbagi pengalaman dalam pengembangan open source di wilayah kerja masing-masing.

Piranti lunak komputer open source memang menarik. Seperti dikatakan Idaman, mengadopsi teknologi ini terkait dengan finansial yang dipandang relatif murah. Begitupula soal ketidakmapanan bagi individu pengembangnya. Biasanya, struktur yang mapan cenderung menggunakan piranti lunak komputer yang bukan berbasis teknologi terbuka.

TIDAK KOMERSIAL

Piranti lunak komputer berbasis teknologi terbuka atau open source dapat dipahami sebagai tawaran untuk aplikasi komputer yang tidak komersial. Contohnya, produk Linux dengan aplikasi open office yang meniru microsoft office dari Microsoft, milik Bill Gates itu.

Open office tidak komersial atau tidak menuntut pembelian lisensi atau royalti hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Untuk mengadopsi microsoft office, dipersyaratkan adanya pembayaran lisensi, sampai-sampai penegak hukum belakangan getol merazia perusahaan atau institusi bisnis lainnya yang mengaplikasikan piranti lunak Microsoft secara ilegal, tanpa membayar lisensi.

Untuk jangka panjang, piranti lunak open source, seperti pada software Linux yang tidak komersial, bisa menjadi ancaman bagi Microsoft. Berbagai macam aplikasi Linux juga sudah menjadi semacam tiruan berbagai aplikasi Microsoft sekarang.

Selain tidak komersial, piranti lunak open source juga memiliki keunikan: dapat dimodifikasi. Kelebihan inilah yang mendorong berbagai kalangan, bahkan komunitas, yang bermigrasi pada aplikasi open source. Fenomena ini pula yang melatarbelakangi kegiatan Asia Source II di Sukabumi, yang dibuka dan ditutup secara resmi oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.

Bagi penggiat open source seperti Onno W Purbo, mantan akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), penggunaan open source sangat murah. "Pembelian satu perangkat lunak berlisensi, seperti Microsoft beserta aplikasi office-nya, bisa menghabiskan 700 dollar AS. Namun, penggunaan perangkat lunak berbasis open source seperti Linux hanya membutuhkan biaya Rp 50.000," kata Onno W Purbo.

Pandangan Onno bernada penghematan ini ternyata ditepis Menneg Ristek Kusmayanto. "Ini bukan hanya persoalan penghematan. Tetapi, bagaimana kita bisa menjawab tantangan zaman dengan membuat dan menggunakan aplikasi yang lebih cocok," ujar Kusmayanto.

Bagi Onno, pengembangan open source menjadi bagian dari paradigma kebebasan yang telah merambat ke segala aspek informasi dan pengetahuan.

Menneg Ristek Kusmayanto melihat, selama ini penggunaan open source masih terbatas dan memiliki citra individualistik serta hobi. Hanya sedikit saja orang yang suka memanfaatkan open source, padahal teknologi aplikasi komputer yang ditawarkan memiliki kelebihan, seperti mampu dimodifikasi untuk menjawab berbagai keperluan.

"Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menggeser citra tersebut untuk mengungkapkan kegunaan-kegunaan open source, baik secara bisnis maupun tugas-tugas kepemerintahan," tuturnya.

Sekarang, lanjut Kusmayanto, yang perlu dilakukan adalah mendobrak citra open source yang masih individualistik dan sebagai kegemaran semata. Kelangsungan teknologi open source masih perlu terus diperjuangkan. Kementerian Ristek bahkan baru-baru ini secara nyata telah meluncurkan aplikasi open source berupa IGOS Nusantara. IGOS Nusantara juga sebagai aplikasi tiruan microsoft office berbasis bahasa Indonesia untuk memudahkan komunikasi dan interaksi dengan pengguna di Tanah Air.

Bagi beberapa kalangan, IGOS Nusantara memang memudahkan dari segi penggunaan bahasa Indonesia. Namun, ke depan, IGOS Nusantara dituntut lebih menampilkan fitur-fitur yang lebih menarik dan makin lengkap.

"Baru saja Mahkamah Konstitusi diberi pelatihan untuk penggunaan teknologi open source ini," kata Kusmayanto.

Kusmayanto, Rabu lalu, juga bertolak ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk kepentingan yang sama. Provinsi NAD diharapkan nantinya menjadi provinsi pertama yang menggunakan open source sampai di tingkat pemerintahan kecamatan.

"Sekarang tugas pemerintah menyediakan peluang untuk memenuhi kebutuhan kerja dengan open source. Bagi kelembagaan pemerintah yang telanjur menggunakan aplikasi bukan open source diajak menerapkan insentif untuk bermigrasi. Tapi, bagaimanapun, penggunaan teknologi open source ini sekadar pilihan," ungkap Kusmayanto.

Saat ini, komputer sudah tidak asing lagi digunakan untuk berbagai tujuan di berbagai organisasi pemerintah maupun nonpemerintah. Di dalam perangkat keras komputer tentu dilengkapi perangkat lunak yang terdiri atas berbagai macam aplikasi untuk digunakan sesuai kebutuhan. Ketika pencetus aplikasi itu sudah tidak lagi "bersahabat" dan meminta bayaran bagi setiap penggunanya, kini muncul fenomena open source untuk mendobrak itu semua.

Namun, meski open source sudah bertahun-tahun ada dan sudah dikembangkan di berbagai negara lainnya, berbagai kalangan di Indonesia justru kebanyakan masih merasa asing. Terbukti, pembajakan aplikasi komputer bukan dari teknologi open source tak jarang masih dijadikan sebagai pilihan. Nah!

Penulis : Nawa Tunggal
Sumber  : Kompas (2 Februari 2007)